Sabtu, 19 November 2011

WABAH BESAR APATISME

Bom Waktu Bagi Keberadaban

Apatisme adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, yaitu apathy. Kata tersebut diadaptasi dari Bahasa Yunani, yaitu apathes yang secara harfiah berarti tanpa perasaan. Sedangkan menurut AS Hornby dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English: apathy is an absence of simpathy or interest. Dari definisi-definisi di atas, maka dapat ditarik satu benang merah definisi apatisme, yaitu hilangnya simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek. Sementara dalam wikipedia indonesia diartikan Apathy adalah kurangnya emosi, motivasi, atau entusiasme. Apathy adalah istilah psikologikal untuk keadaan cuek atau acuh tak acuh; di mana seseorang tidak tanggap atau "cuek" terhadap aspek emosional, sosial, atau kehidupan fisik. Kemudian kita dapat artikan bahwa apatisme adalah hilangnya rasa simpati masyarakat terhadap lingkungannya. Padahal masyarakat pada hakekatnya adalah sebuah kesatuan yang saling berikatan, sesuai dengan definisi masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem, dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.

Sebelumnya ada istilah pembagian kelompok di masyarakat dari tingkat kepedulianya(respect). Diantaranya ada tingkat apatis, menengah dan maju/bergerak. Apatis diisi oleh kelompok masyarakat yang tidak ambil peduli atau acuh dengan apa dan bagaimana situasi, kondisi serta kejadian yang ada lingkungannya. Di menengah diisi oleh kelompok masyarakat yang peduli dengan situasi, kondisi dan kejadian yang terjadi di Indonesia namun tidak mengambil langkah atau tindakan apapun. Sedangkan di level maju diisi oleh masyarakat yang peduli dengan situasi, kondisi serta kejadian yang terjadi di Indonesia dan menindaklanjutinya dalam beragam bentuk.
Bagi kelompok masyarakat yang masuk ke tingkat apatis, ada kemungkinan mereka adalah kelompok borjuis, kelompok mapan dan pemilik modal (walaupun tidak dipungkiri juga didominasi masyarakat kelas bawah dalam bidang tertentu). Masyarakat pada kelompok ini memiliki dana yang banyak jumlahnya, sehingga mampu membiayai segalanya dan membayar biaya apapun terhadap perubahan yang terjadi. Sehingga masyarakat pada kelompok ini tidak merasakan perubahan situasi, kondisi dan dampak yang timbul dari kejadian yang terjadi di masyarakat luas. Karena tidak adanya penderitaan yang seolah dialami, sehingga kepekaan tidak muncul dalam hati mereka yang kemudian memunculkan sikap tidak peduli.
Apatisme Dalam bermasyarakat
Orang di kota besar pada umumnya dapat mandiri tanpa harus bergantung pada orang alian. Hal yang penting disini adalah manusia perseorangan atau individu. Di desa orang lebih mementingkan kelompok atau keluarga. Di kota, kehidupan keluraga sering sukar dipersatukan karena perbedaan kepentingan, paham politik, agama, dan seterusnya. Masyarakat kota besar khususnya dan masyarakat Indonesia secara umum, sudah terbentuk dari kehidupan modern yang mementingkan karir. sehingga mereka hanya sibuk dengan urusan-urusan privat mereka terkait dengan akumulasi kekayaan, maupun pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Hal ini memang tidak bisa disalahkan. Dengan kondisi perekonomian sekarang ini, keselamatan diri dan keluarga dekat memang dianggap sebagai prioritas utama.


Akan tetapi, apa akibat dari mentalitas dan cara berpikir privat semacam itu. Jawabannya sederhana saja hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama dalam bentuk solidaritas dan keadilan pun juga terabaikan. Solidaritas sosial dan keadilan tidak menjadi prioritas, dan bahkan mungkin tidak lagi terpikirkan sama sekali. Inilah apatisme yang perlahan-lahan akan menghancurkan kehidupan publik di Indonesia.
Ketidakpedulian ketika terjadi ketidakadilan di depan mata kita. Ketidakpedulian ketika orang lain menderita bukan karena kesalahannya, tetapi hanya karena dia lahir di kelas sosial yang tidak tepat. Yang terakhir ini disebut sebagai ketidakadilan struktural / lapisan sosial. Ini seperti yang sering kita dengar, kemakmuran tidak selamanya baik. Kemakmuran tanpa Keadilan adalah sesuatu yang membahayakan kelak. Jadi sebaiknya Adil dulu baru Makmur.


Apatisme dalam berpolitik atau kehidupan Bernegara

Tingginya angka golput pada pemilu legislatif merupakan cerminan apatisme rakyat terhadap pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Pengamat politik dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Alfitri Msi, mengatakan "Golput juga merupakan bentuk perlawanan rakyat terhadap pelaksanaan pemilu yang dinilai tidak akan mampu merubah negara ini menjadi lebih baik,". (Sriwijaya Post - Sabtu, 11 April 2009). Masalah apatisme publik yang mulai akut menyangkut partisipasi politik di negeri ini. Sepanjang tahun lalu di berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada), angka golput mendominasi hasil penghitungan dari seluruh potensi suara di tiap daerah pemilihan.



Penyebab mengapa masyarakat demikian apatisnya tentu tidak terlepas dari pengalaman di masa lalu. Refleksi kinerja pemerintah selama ini beserta tindak tanduk para pejabat yang dianggap tidak menyentuh di hati rakyat sehingga menjadi pelajaran bagi rakyat. Keadaan saling menguntungkan yang terjalin antara rakyat dan wakil rakyat belum pernah secara nyata ditemui masyarakat. Namun sangat disayangkan ketika buah dari pelajaran masa lalu itu adalah rasa jera, hilangnya semangat berdemokrasi, kebosanan bahkan keengganan untuk menyalurkan aspirasinya. Negara telah kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat karena tindak-tanduk sebagian besar abdinya.
Masyarakat akhirnya meragukan terciptanya perubahan lewat proses pemilu karena suasana yang ditampilkan selalu tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Saat-saat seperti ini semua pihak merasa dan mengklaim diri sebagai pihak yang dekat dengan rakyat. Padahal saat terpilih janji yang terucap seakan menguap sesaat setelah sumpah diucapkan.
Berkembangnya peradaban kearah modernisasi dan rasionalisasi. Membuat masyarakat seakan larut dalam euforia untuk mensejahterakan diri sendiri (mengejar kemakmuran) tanpa melihat bagaimana fenomena yang terjadi di negaranya saat ini, pengaruh kemiskinan yang sekaligus berimbas kepada kebodohan bangsa belum menjadi perhatian serius dari generasi tua maupun para elite-elite politik bangsa ini. Pengaruh perkembangan informasi dan era globalisasi yang mulai merebak di negara kita juga menjadi ancaman yang sangat menakutkan bagi generasi muda. Mereka sudah mulai meninggalkan kebudayaannya yang menbjadi jati dirinya dan itu diperkuat lagi dengan semangat globalisasi yang begitu kental dan digelorakan oleh pihak asing. Generasi muda seakan telah meninggalkan jati diri bangsanya dan mulai terpengaruh dengan budaya-budaya asing yang mulai menunjukkan taji-nya dan sekaligus telah menguasai seluruh aspek kehidupan di negara kita.
Semangat nasionalisme kaum muda dan masyarakat yang terus luntur dipengaruhi oleh budaya kaum muda yang lebih memandang kesenangan sebagai suatu hal yang terpenting dan harus dijadikan sebagai tujuan (hedonisme¬¬) menyebabkan terjadinya pergeseran budaya dan prilaku kaum muda yang kritis, agresif dalam memberikan kontribusi positif dan sebagai jambatan perubahan sosial. Padahal bangsa itu adalah satu jiwa. Sudah selayaknya apatis tersebut dianggap sebagai sesuatu yang jelas merusak, terutama dalam kehidupan bermasyarakat.


Apatisme sebagai Musuh Kehidupan Publik

Apathisme di masyarakat membuat masyarakat menutup mata atas apa yang yang terjadi di sekitarnya. Kemudian berimbas menjadi tidak mengenalnya individu terhadap lingkungannya sehingga masyarakat tidak lagi mengenal nilai yang telah beredar di masyarakat sebelumnya. Matinya nilai-nilain yang da di masyarakat, sama dengan mengarahkan manusia kepada peradaban yang biadab dan tidak bermoral. Matinya rasa kepedulian, respect, nilai/nurani, dan pandangan tentang keadilan membutakan masyarakat akan hukum dan keadilan.
Kejahatan dan penderitaan sudah menjadi hal-hal biasa. Hal-hal negatif itu sudah menjadi makanan sehari-hari kita, sehingga tidak lagi mengenalinya sebagai sesuatu yang kejahatan dan nista. Dalam bahasa filsuf perempuan Jerman, Hannah Arendt, kejahatan telah menjadi banal. Kejahatan tidak lagi dikenali sebagai kejahatan, tetapi hanya sebagai rutinitas kehidupan sehari-hari. Banalitas ( atau kata lain pemwajaran) kejahatan itulah yang membuat kita menjadi apatis dan tidak peduli. Banalitas kejahatan itulah yang membunuh kepekaan hati nurani terhadap ketidakadilan dan kejahatan, yang terjadi setiap detiknya di depan mata kita. Tidak berhenti disitu, kejahatan dan ketidakadilan bukan hanya menjadi hal yang biasa, tetapi justru menjadi hal yang normatif, "yang seharusnya". Melanggar lalu lintas bukan lagi hal biasa, tetapi menjadi sebuah "kewajiban" yang harus dilakukan. Jika kita tidak melanggar lalu lintas, kita akan menjadi korban dari struktur. Sekali lagi yang sering kita dengar “peraturan ada untuk dilanggar”.

Inilah yang terjadi di Indonesia sekarang ini, yakni banalitas kejahatan serta ketidakadilan yang tidak lagi bisa dikenali akibat apatisme publik. Dan matinya nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat.

Kita semua tahu, demokrasi tidak akan berjalan tanpa partisipasi warga yang kritis. Apatisme publik adalah gejala, di mana warga negara menjadi tidak peduli pada hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama. Artinya, warga negara tidak lagi kritis dan partisipatif di dalam kehidupan bersama. Demokrasi pun tinggal slogan yang mengambang tanpa realitas. Jika demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia tidak lagi berjalan, maka kita harus mempersiapkan diri kita untuk hidup di dalam rimba-rimba yang berselubung gedung di Indonesia. Dan apakah kita mau seperti itu. Tentunya semua masyarakat ingin menjadi masyarakat yang terbaik.

source:
http://id.wikipedia.org/wiki/Apathy 14 desember 2009.
Yotapditya, Penyebab apatism di Indonesia, www.Blogster.com
Soerjono Soekanto, sosiologi Suatu pengantar (jakarta : rajagrafindo persada , 2006)
www.Riauinfo.com , Selasa, 15 Desember 2009
Amin Aryoso dkk. Ancaman terhadap jati diri bangsa ( Jakarta : yayasan kepada bangsaku , 2009)
The Human Condition [Kondisi Manusia] (1958) dalam terjemahan,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar